KPAA MEREMAJAKAN PARA PENGARANG AA

Sumber: HR (Harian Rakyat) Minggu, Tahun XIII, No. 3553, 7 Juli 1963, hlm. 1 & 4.

Adalah tidak mudah menyadari dan membenarkan adanya kekuatan baru yang sedang muncul. Tidak semudah menyadari dan membenarkan adanya kekuatan yang sudah lama bercokol.

Sebabnya adalah sangat wajar. Kekuatan yang sudah lama bercokol adalah sesuatu yang sudah jelas kehadirannya, sesuatu yang sudah lama ada di depan mata dan bahkan sudah berpengaruh atas kehidupan kita sehari-harinya. Tapi kekuatan baru yang sedang muncul karena barunya dan karena keadaannya yang sedang muncul, bisa membuat kita curiga atau setidak-tidaknya bertanya-tanya dulu didalam menyambut kehadirannya.

Maka tidaklah mengherankan, tatkala pada tahun 1958 para pengarang dari berbagai negeri Asia-Afrika, termasuk Indonesia, mengadakan konferensi di Tashkent dan berbicara tentang imperialisme-kolonialisme sebagai musuh, sementara orang di Indonesia termasuk para pengarangnya, menyambut peristiwa itu dengan geleng kepala dan bertanya: “Mengapa pengarang mesti ikut-ikutan berpolitik?”

Pernyataan semacam ini adalah jelas keluar dari pikiran yang sudah lama bercokol. Tapi juga pernyataan ini sekaligus merupakan pengakuan, bahwa peristiwa berkumpulnya para pengarang Asia-Afrika di Tashkent itu adalah betul-betul sesuatu yang baru.

Dan memang, konferensi pengarang Asia-Afrika di Tashkent yang berbicara dengan bahasa politik itu adalah sesuatu yang betul-betul baru. Baru bagi sejarah pengarang-pengarang Indonesia, baru bagi sejarah kepengarangan Asia-Afrika dan baru bagi sejarah dunia.

Tapi konferensi itupun bukanlah sesuatu yang baru sebagai mode.

Konferensi itu adalah sesuatu yang baru yang juga tumbuh. Tumbuh bersama perkembangan sejarah, tumbuh sebagai kebenaran baru yang dibenarkan oleh sejarah, juga oleh sejarah Indonesia.

Betapa tidak! Tidak lama setelah peristiwa Tashkent itu, rakyat Indonesia dengan penuh kegairahan menerima Manipol sebagai pimpinan.

Manipol yang didalam kehadirannya sendiri sudah jelas mengharuskan setiap warga negara berpolitik. Manipol yang jelas pula mengarahkan sasarannya kepada imperialisme dan kolonialisme.

Dan sebagaimana kita ketahui, setelah beberapa tahun kita hidup di dalam alam Manipol, maka istilah-istilah “imperialisme” dan “kolonialisme” di Indonesia tidak lagi menjadi monopolinya kaum politisi. “Imperialisme” dan “kolonialisme” di Indonesia sekarang adalah menjadi istilahnya rakyat dari semua lapisan, menjadi bahasanya rakyat dari segala golongan. Bahasa rakyat yang diucapkan dengan kesadaran bahwa yang dimaksud dengan imperialisme dan kolonialisme itu adalah kekuatan yang sudah lama bercokol yang sekarang sedang menuju keruntuhannya. Dan bahwa rakyat yang mengucapkannya adalah kekuatan baru yang sedang tumbuh.

Sekarang tiba pula waktunya kepada Indonesia yang ada di dalam alam Manipol ini diberikan kehormatan untuk menjadi tuan rumah dari konferensi pengarang Asia-Afrika yang ketiga, didahului dengan sidang-sidang eksekutifnya. Ini berarti bahwa sesuatu yang baru yang dulu muncul di Tashkent itu, sekarang akan didewasakan di tengah-tengah rakyat yang sudah terbiasa pula menganggap musuh kepada kekuatan yang sudah lama bercokol!

Sudah barang tentu bahasa yang akan dipakai di dalam konferensi itu bahasa politik, tapi bahasa itu pun sudah menjadi bahasanya rakyat Indonesia. Sudah barang tentu pula akan dilontarkan istilah-istilah “imperialisme” dan “kolonialisme”, tapi istilah-istilah itupun sudah menjadi istilahnya rakyat Indonesia pula.

Adalah keterlaluan, kalau diantara kita, termasuk para pengarang, masih ada yang akan menyambut peristiwa ini dengan geleng kepala. Sebab masalahnya sekarang bukan lagi mesti bertanya: apakah para pengarang itu mesti ikut-ikutan berpolitik atau tidak? Masalahnya sekarang ialah di pihak mana para pengarang akan berpijak, di pihak kekuatan yang sedang runtuh atau di pihak kekuatan yang sedang tumbuh?

Ya, kata-kata ini memang masih akan terasa keras bagi sementara pengarang, masih akan terasa “bau politik” dan masih akan menyinggung “kepribadiannya” pengarang, yang hanya mau tahu kepada yang “bau sastra”.

Khusus untuk pengarang-pengarang yang hanya mau tahu kepada yang “bau sastra” itu disini kita majukan masalah: apakah pengarang itu mesti menjadi tua atau selalu remaja di dalam memandangi kehidupan? Kita kemukakan masalah yang sangat sederhana ini, karena sepanjang pengalaman kita, konferensi para pengarang yang dilangsungkan di Tashkent tempo hari itu pada hakekatnya adalah pembukaan jalan bagi para pengarang Asia-Afrika untuk menemukan dirinya sebagai manusia yang tidak menjadi tua.

Dan apabila konferensi semacam itu akan menunjukkan kehadirannya yang ketiga kalinya di tanah air kita nanti, kita pun yakin bahwa arti yang hakiki yang dikandung oleh peristiwa ini adalah membawa para pengarang Asia-Afrika kepada penemuan dirinya lagi sebagai manusia yang lebih remaja lagi.

Kita katakan: lebih remaja lagi. Sebab begitulah yang dimaksud dengan kemunculannya kekuatan yang baru: kian dia didewasakan dan dikembangkan, kian remajalah dia di dalam pembawaannya.