YANG TAK BOLEH HILANG: HASIL TERBESAR GERAKAN OPERASI GEMPA LANGIT IALAH HUBUNGAN AKRAB YANG SUKAR DIDAPAT

Sumber: Bintang Timur, Kamis, 6 Agustus 1959, hlm. III.

Dengan kedatangan pelukis-pelukis ke daerah mereka berarti menjelaskan penderitaan dan kemiskinan dalam daerahnya. Gambaran inilah yang memberatkan setiap pelukis itu menerima pula apa yang akan diberikan, walaupun diketahui bahwa setiap kerjanya itu belumlah seberapa nilainya bila dibandingkan dengan keikhlasan rakyat menyerahkan rokok sebungkus. Memang harga lukisan memungkinan setiap mereka bisa makan puas, tetapi keikhlasan rakyat itu lebih tinggi nilainya dari apa yang dapat mereka lukiskan.

Hasil yang terbesar dari setiap gerakan Operasi Gempa Langit ini yang pertama ke Gunung Kidul dan kedua Pantai Semarang (Tambak, Lorok), bukanlah hasil-hasil lukisan mereka yang tinggi nilainya, bukan pendekatan objek yang penting, bukan pula mengetahui kehidupan para nelayan itu, tetapi ialah hubungan akrab yang sukar didapat dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang kerja mengajar rakyat mengenal dan mengerti kesenian (seni lukis). Kemudian barulah dengan keakraban ini semua bisa terjadi, seperti lukisan bernilai yang baik, belajar dari pengalaman, dan mengenal masyarakatnya dari dekat.

Cita-cita mendekatkan dari pada rakyat, usaha mendekatkan diri pada objek, akan menyelamkan apa yang menjadi keraguan itu ke arah hidup yang lebih sempurna terhadap setiap objek.

Cita-cita ini tentunya lebih menjelaskan pula, bahwa dalam setiap kerja mereka itu tidak perlu lagi mengaitkan dirinya dengan keuangan. Mereka bisa bekerja dengan hasil yang lebih baik, mereka bisa mengerjakan niatnya yang lebih sempurna, dan rakyat akan tetap bersama mereka memberikan makanan, rokok, dan lain-lainnya bila setiap beroperasi.

Hasil-hasil karyanya dapat dibanggakan

Dalam operasinya yang kedua, rombongan agak lebih besar. Tambak, Lorok, yang menjadi sasaran itu merupakan daerah garapan pengolahan karya pelukis.

Sebanyak 17 orang Pelukis Rakjat Jogja, terdiri dari: Martian, sebagai ketua rombongan. Batara Lubis, Permadi, Fadjar Sidik, Sutopo, Yuski, Tarmizi T., Djoni Trisno, Tjetjep Lili, Suparno, Sawal Sutrisno, Sudarso, Wijaja Kusuma, Kuntjojono, Said, dan dua dari Semarang (Pelukis Rakjat Herno dan Djoket).

Barisan yang cukup besar dari kesemuanya ini, telah membawa hasil yang baik sekali. Hasil-hasil karya yang dapat dibanggakan ialah berpuluh-puluh sketsa, limapuluh tujuh lukisan yang semuanya menggambarkan kehidupan masyarakat daerah itu. Objek yang langsung diukir mereka dalam bentuk lukisan inilah yang menguntungkan kerja setiap pelukis. 57 lukisan bukanlah jumlah yang sedikit, meskipun waktu yang harus mereka kerjakan itu dalam waktu sebulan (15 Mei-17 Juni 1959), jumlah ini mungkin bisa lebih bila mereka tidak terserang oleh flu dan larangan-larangan oleh pihak setempat, yang masih belum mengerti ujud dari kedatangan mereka.

Tetapi baik flu, maupun pelarangan-pelarangan itu bukanlah halangan bagi pelukis-pelukis itu. Flu dan pelarangan itu bisa diatasi bila mereka punya senjata (kuas, kain, cat, dan lain-lain, dan niatnya) untuk memulai melukis.

Dalam keadaan yang demikian parah itu, mereka dapat bantuan obat dari SBU Semarang yang dengan murah hati ikut memperhatikan kehidupan seniman-seniman rakyat ini. Mereka mengetahui sungguh bahwa jika pelukis-pelukis ini tiada, alangkah ruginya perjuangan bangsa dan negara dalam bidang ini, pula bahwa pelukis-pelukis inilah yang bisa merangsangkan kerja bagi perjuangan bila massa menghendaki. Karenanya mereka perlu dirawat, mereka perlu diawasi kehidupannya. Alangkah baiknya bila pemerintah dapat mengerti seperti rakyat kecil inipun mengerti atas kerja mereka.

Sama besarnya dengan pejuang-pejuang lain

Pengawasan di waktu sakit oleh para penduduk atas diri mereka merupakan kenangan-kenangan yang terindah yang tak mungkin dilupakan. Mungkin sekali bila mereka sakit tidaklah ada perhatian dari pihak rumah sakit, bila berubah harus bayar, betapa rendahnya penghidupan seorang pelukis (Pelukis Rakjat) yang dalam perjuangan bangsa ikut memberi corak dalam kerja, mereka sama besarnya dengan pejuang-pejuang lain tetapi pasti lebih tinggi dari pembicara-pembicara kosong yang tidak menghasilkan apa-apa yang dicita-citakan rakyat. Dia gambarkan kehidupan rakyat, penderitaan, kesengsaraan, kepahitan, dan sebagainya, tetapi hanya merekalah yang mencungkilnya keluar. Orang tidak tahu akan hal ini, bahkan jangan ditanya pada pejabat-pejabat kita, dia pasti pura-pura lupa. Sekarang Pelukis Rakjat sudah memulai setiap kerja dari bawah. Jalan ini haruslah menjadi teladan bagi setiap pekerja untuk membangun nusa.

Yang lebih menarik lagi ialah setiap mereka mendekat objek, hasilnya dipamerkan pada tempat itu. Hasil berapa sketsa dan lukisan menarik perhatian setiap rakyat. Dengan kenyataan ini rakyat merasa dirinya satu, dan bila mereka melihat lukisannya terdapat dalam lukisan, mereka segera melompat kegembiraan sambil berteriak: Kecekel, kecekel.

Ucapan ini sungguh menarik hati sekali. Bahwa dengan terlukisnya mereka terasa sekali hubungan antara pelukis dan objeknya.

Bila cinta dan hubungan akrab sudah bicara, tak adalah yang benar dan mulia dari kasih sayang sesamanya. Inilah keuntungan utama.

Pameran-pameran

Pameran-pameran yang dilakukan itu mendapat kunjungan luar biasa sekali. Anak-anak dan orang dewasa tiada jemu-jemunya menemani mereka bekerja. Mereka habiskan waktu senggangnya dengan melihat pelukis-pelukis itu bekerja.

Hampir di setiap tempat mereka berhasil melakukan pameran. Tetapi ada beberapa halangan yang dilakukan oleh yang berkuasa setempat, karena anggapannya akan mengeruhkan suasana, maka itu tidak diizinkan berpameran. Namun rakyat tetap membantu mereka. Ini jelas ada pula di antara toko-toko yang mau menutup kedainya untuk mereka berpameran.

Dalam pameran terakhir dimana mereka memamerkan seluruh kerjanya selama tiga hari di ruangan SBPU Semarang. Kepala daerah kotapraja berkesempatan membuka pameran ini. Dan dalam tiga hari itu tidak sedikit pengunjung-pengunjung yang datang. Bila dibandingkan dengan ibukota yang datang pada setiap pameran lukisan di Balai Budaya tidak lebih dari 1000, kadang-kadang lebih sedikit. Tetapi pameran ini dalam tiga hari saja kunjungan membanjir sehingga tak mungkin mencatat jumlah yang besar dari pengunjung-pengunjung itu.

Dengan jalan ini Pelukis Rakjat adalah pelukis-pelukis yang pertama mendekati rakyat secara jumlah yang besar, pula yang pertama berhasil menerima penghargaan dari rakyat yang sebesar-besarnya.

Kesukaran dan harapan

Tentu saja setiap kerja setelah diadakan pameran, maka banyaklah perkiraan harus kita lihat kembali. Hasil yang demikian besar itu tentunya tidaklah material yang diperoleh sekaligus. Apalagi pemilik-pemilik uang itu masih enggan-enggan dibuangkan untuk lukisan-lukisan seni dibanding dengan bertingkat loncat (dansa) di atas papan licin. Kesadaran yang kurang ini membuat mereka terpaksa harus pula menunggu beroperasi lagi dengan lakunya hasil karyanya. Namun ini soal kedua.

Karena tanpa bantuan dengan dibelinya oleh bapak-bapak kita itu, mereka bisa hidup dan tentu melukis, bila alat-alat cat, kuas, kain, dan sebagainya, itu direndahkan harganya. Bila ini bisa direndahkan sekaligus akan jelaslah pada kita bahwa setidak-tidaknya pemerintah mengerti niat dan maksud setiap pelukis. Rendahkan harga cat yang digolongkan ke barang lux itu, barangkali agak lega, barulah kerja bisa lancar. Karena setidak-tidaknya cat itu pun akan mengurangkan keindahan dan pemakaian yang tanggung-tanggung rendahkan pula nilai lukisan itu. Inilah kekurangan-kekurangan yang mereka harapkan bisa hendaknya pemerintah sadar akan kebutuhan para pelukis itu.

Laksanakan petisi mereka

Disamping itu tentunya kerja yang baik ini dalam berniat operasi ketiga, bantuan pemerintah hendaknya sudah harus ada. Setidak-tidaknya walau pemerintah sungkan memberikan setiap bulan, tetapi setiap mereka berniat beroperasi berilah mereka sekedaran kerja. Bukanlah berarti bahwa mereka tidak beroperasi jika tidak ada bantuan pemerintah, tidak.

Bahkan mereka sudah dua kali beroperasi tanpa usaha dan bantuan pemerintah. Jika nama Indonesia di luar negeri tinggi, bukanlah karena pemerintahnya saja, tetapi senimannya, pelukisnya. Pelukis Rakjat, mereka juga berhak atas nilai hidup mereka.

Mereka berhak atas hasil kemerdekaan, tetapi mengapa penyunatan terjadi atas subsidi yang diberikan pemerintah, sedang usaha pertunjukan umpamanya, penerbitan, pengumpulan bahan-bahan lukisan, bukanlah pekerjaan pertuanan yang harus dibanggakan setimpal dengan kerja baik para pelukis itu. Mereka lebih tinggi kedudukannya karenanya penilaian ini harus dibenarkan dengan bantuan kongkrit pemerintah. Siapa yang tidak ikut menyumbangkan tenaga di lapangan kesenian hendaknya jangan diberi kesempatan untuk mengemudikan Jawatan Kesenian. Berilah yang mampu, karena kita bukan pegawai bayaran yang tidak melakukan tugas mengharumkan nama negara.

Dengan tulisan dari Operasi Gempa Langit oleh Pelukis Rakjat, atau Lembaga Senilukis Jogja ini, pemerintah bisa mengerti bahwa selama ini usaha yang telah diberikan itu cukup besar. Dari itu tidak ada jalan lain berikan bantuan-bantuan sebesar-besarnya. Dan laksanakan petisi mereka.

Yang Tak Boleh Hilang (I)
Yang Tak Boleh Hilang (II)