YANG TAK BOLEH HILANG: PENYUNATAN SUBSIDI PEMERINTAH KEPADA PELUKIS-PELUKIS RAKJAT PERLU DITINJAU KEMBALI

Sumber: Bintang Timur, Senin, 3 Agustus 1959, hlm. III.

Beberapa bulan yang lalu ada tulisan di harian ini tentang sebuah petisi pelukis-pelukis Jogja kepada pemerintah untuk menghendaki perbaikan dalam lapangan kesenian yang diawasi oleh Jawatan Kesenian, agar sesuai dengan jiwa zamannya.

Sepintas lalu petisi, memang kurang bisa dilayani pada masa demikian sukarnya mendekati orang-orang yang berkedudukan dalam pemerintahan.

Sukar karena banyak tugas yang sebenarnya tidak menguntungkan perkembangan pada kesenian dan budaya kita, disamping menjauhkan diri dari sifat-sifat seni dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Kita tentunya akan merasa rugi dengan pandangan yang demikian dangkal ini. Rugi karena akan tersia-sialah kerja dan tujuan seni yang kita sumbangkan demi pembangunan bangsa. Rugi karena niat yang baik untuk mendidik masyarakat menyertai sikap aksi kesenian bagi kehidupan masyarakat dan negara, tidak begitu terasa atau kurang mendapat perhatian, karenanya tidaklah heran bila petisi pelukis-pelukis atau pematung-pematung Jogja itu yang kita harapkan baik hasilnya, tidak mendapat layanan yang mempunyai masa depan yang baik.

Tetapi apakah kita harus macet disini justru karena pemerintah kurang memberi sugesti bagi pertumbuhan seni Jogja khususnya dan Indonesia umumnya, ataukah kita duduk diam-diam dan membiarkan saja negara kita ini kering dengan kekakuan-kekakuan yang justru karena politik-politik itu?

Berhak atas subsidi pemerintah

Bukankah itu tujuan setiap seniman yang cinta pada rakyat dan nusanya. Seniman-seniman itu harus menyerahkan pandangannya ke depan, bukan ke samping, dan ke atas. Pelukis-pelukis kita harus mengarahkan tujuan kepadanya pada pendukungnya, kendati pemerintah mencabut dengan penyusutan atas sumbangsih kepada Pelukis Rakyat setiap bulannya dalam bentuk uang. Terasa sekali perihnya pelukis-pelukis yang tergabung dalam Pelukis Rakyat mengenai hal ini. Mengapakah pemerintah tidak meninjau kembali, padahal kita ketahui pencabutan itu justru ketika pemerintah BH, yang sekarang menjadi buruan bagi pemerintah yang sah? Apakah latar belakang pemerintah waktu itu terhadap pelukis-pelukis yang tidak asing bagi Bung Karno, pecinta-pecinta seni lukis, dan para pendatang-pendatang, orang asing. Mereka bisa menuntut haknya, karena telah menghasilkan banyak sekali kerja di dalam masyarakat, mereka berhak atas subsidi pemerintah daripada pembentukan jawatan kebudayaan dan menggaji orang yang tidak mempunyai hasil sedikitpun dalam bentuk seni kita. Merekalah yang membuka pecinta seni lukis dunia mengenal Indonesia dalam wadah seni lukis.

Tidakkah Affandi sendiri mendapat sambutan hangat di Amerika, London, dan Eropa juga adalah dari Pelukis Rakjat? Bukankah koleksi Presiden yang demikian banyak itu justru dari tangan-tangan Pelukis Rakjat?

Pelukis-pelukis Rakjat harumkan nama bangsa

Semua ini memang kurang disadari oleh pemerintah. Entah apa yang menyebabkan pengguntingan subsidi itu, mungkin disebabkan oleh kekurangan anggaran belanja, tetapi yang benar ialah, kerja Pelukis-Pelukis Rakjat Jogja lebih berhasil dari suatu jawatan kebudayaan di daerah-daerah.

Yang membenarkan ini ialah seorang asing, pernah mencari Pelukis Rakjat walaupun dia diorderkan untuk menjumpai jawatan kebudayaan di situ, dia lebih kenal pada Pelukis Rakjat daripada jawatan pemerintahnya. Mengapa demikian? Kiranya jelaslah bila kita ketahui bahwa bukan jawatan kebudayaan (kesenian) yang mengharumkan nama bangsa, tetapi Pelukis-Pelukis Rakjat itu sendiri, pembuatnya, bukan pengumpulnya. Inilah yang harus menjadi contoh bagi kehidupan kesenian di Indonesia, selama pemerintah masih menutup pintu bagi pekerja-pekerja seni (pelukis-pelukis) itu, selama itu kita (pemerintah) hanya [tidak terbaca] keuntungan dari hasil baik mereka sendiri, sedang kita bergembira di atas tetes keringat yang mereka cucurkan.

Sakitnya pelukis memang tak terasa

Dapatlah pemerintah bertahan terhadap kenyataan yang demikian itu? Dapatkah pemerintah bekerja tanpa memberi penghargaan yang layak? Hal ini memang sukar. Sukar, karena soal uang saja. Juga soal kertas, cat, tinta, dan kuas, meminta banyak pengorbanan dari pekerja-pekerja itu. Jika penyunatan terjadi, penyunatan habis-habisan terjadi, sehingga keringlah mereka sudah, serta harga-harga bahan kerjanya dilumpuhkan pula, apalagi yang harus mereka lakukan demi untuk mempertahankan nilai pemerintah kita di mata dunia dalam bidang seni lukis? Apalagi yang harus diperbuat jika kala batu, tanah lempung, semua ini tidak memungkinkan mereka lagi bekerja?

Sakitnya pelukis memang tidak terasa. Apalagi bagi orang-orang besar yang menipu dirinya, ikut-ikutan membeli lukisan tetapi yang dibelinya lukisan loakan, atau lukisan jalanan yang murah dan tidak mempunyai nilai seni sedikit pun untuk digantungkan di rumahnya, karena justru Presiden suka membeli lukisan.

Inilah yang lebih parah dalam perkembangan seni dan budaya kita.

Kerja adalah keharusan

Tetapi pelukis-pelukis yang tergabung dalam Pelukis Rakjat, bukanlah anak-anak yang bisa menangis karena tak gula-gula. Mereka harus bekerja, mereka gunakan waktu yang baik, bagi penciptaannya, bagi hasilnya yang baik dan memberikan peranan dalam tiap karya lukisan. Inilah jalan yang diambil oleh Pelukis Rakjat.

Mereka terus menggunakan cat, kain, tinta, kertas, seadanya dan sehemat-hematnya untuk membuat suatu lukisan. Meskipun sewajarnya tidaklah harus demikian. Kepincangan dalam bentuk seni lukis, karena kekurangan-kekurangan dalam bahan-bahan tersebut akan merendahkan nilai lukisan itu sendiri, ini memang sakit sekali. Tetapi tidaklah sesakit kalau subsidinya disunat habis-habisan. Karena mereka tidak kerja. Mereka bisa meneruskan sedikit-sedikit, walau dengan itu berarti nafasnya ikut sengal-sengal menuju penjunjungnya.

Pelukis Rakjat seperti kita ketahui telah banyak menghasilkan pelukis-pelukis besar Indonesia. Dengan kebesaran inilah mereka menjamin kedudukan seni lukis Indonesia. Kita akan merasa bangga bila seorang pelukis seniman seperti Pelukis-Pelukis Rakjat, atau Affandi yang telah bertolak ke luar negeri itu mempunyai nama yang harum, dikagumi dan dipuji-puji. Tidak sedikit sudah kerja yang harus dikerahkan bagi pembinaan bangsa dan nama baik pemerintah dan rakyatnya. Ke arah yang beginilah sebenarnya tujuan pemerintah pula, agar tidaklah sejarah seni lukis kita mencatat bahwa pemerintah ikut-ikutan dompleng dalam nama harum yang dimilikinya. Meskipun keperihan atas tindakan pemerintah ini, pelukis-pelukis kita tetap sabar dan tenang.

Mereka tidak harus berdiam, mereka harus berusaha agar kerjanya itu bisa terlaksana, sekaligus menyeretkan kepercayaan pendatang-pendatang ke tanah air ini guna mencerminkan masyarakat kita sebaik-baiknya. Karena, inilah kerja merupakan keharusan, keharusan bagi setiap penulis, pelukis dan pekerja-pekerja budaya. Menjauhkan diri dari kerja yang menyegerakan diri pada tingkatan hidup yang kering dan arrive. Karena itu soal bahan-bahan penggunaan, soal-soal material untuk mendapatkannya, bukanlah suatu hal yang menjadi penghalang yang besar, bukan suatu hal yang dijadikan sebab matinya hasrat mencipta, malah sebaliknya, kita berusaha mencari jalan terdekat untuk menghidupkan kembali kerja baik kita. Tanpa kuas dan kain, karena mahal, kita kerjakan sketsa dengan tinta dan kertas, bila tinta pun mahal dengan konte, dan bila ini pun menyulitkan memahat kayu atau batu, akhirnya sampailah pada bahan yang murah karena bisa didapat dengan ongkos kecil, dan miliknya orang baik, ialah mematung dengan lempung. Jika ini pun habis maka matilah kerja pelukis. Jika karya pelukis habis, maka nama yang dulu kita peroleh akan sampai dibatas itu saja. Kita tidak maju, kita kering dan tandus.

Kita bukan penyanyi-penyanyi sepi di tengah hutan

Apakah pemerintah hanya sampai disini saja keseimbangan nama yang telah diperolehnya dari kerja mereka tanpa bantuan sedikitpun? Apakah sampai disini sajakah nilai martabat kita dalam bidang seni lukis? Bukankah bidang-bidang seni lukis dan sastra saja yang menjiwai hati rakyat Indonesia? Kita yang hidup di masa merdeka ini bukanlah penyanyi-penyanyi sepi di tengah hutan lengang, bukanlah orang-orang yang merasa kehabisan dan kekosongan karena sesuatu itu. Merdeka: membuat kita dewasa dalam berpikir, dewasa dan besar dalam kerja, karena itu pelukis-pelukis yang tergabung dalam Pelukis Rakjat tidak pernah melihat mendung tersangkut di atas rumahnya, atau malam dalam dirinya mereka yang melahirkan lukisan-lukisan perjuangan, mereka yang melahirkan lukisan-lukisan revolusioner, merekalah pula yang menghidupkan kerja setiap ketika. Dan dengan kerja dan keyakinan atas hasil usahanya, mereka menemukan kepribadian bangsa, seperti seorang kritikus seni lukis Tiongkok pernah berkata: “Seni lukis Indonesia merupakan pantulan hidup masyarakatnya.”

Ke arah inilah mereka mulai menginjakkan kakinya, dan ini hanya mungkin dan pasti berhasil bila kerja tidak pernah mati, bila usaha tetap ditindakkan.

Kerja adalah keharusan, karenanya bukan alasan mereka harus berdiam karena bantuan pemerintah tak ada, tetapi pemerintah pun harus sadar bahwa mereka bekerja lebih baik dari politikus-politikus yang tidak membawa nama baik Indonesia di mata.

Yang Tak Boleh Hilang (II)
Yang Tak Boleh Hilang (III)